Rabu, 05 Mei 2010

Sintesis Kebijakan Agribisnis Lada

Oleh: Prof. Dr. Ir. Elna Karmawati, MS
Analisis kebijakan adalah proses atau kegiatan mensintesa informasi, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan. Analisis kebijakan merupakan suatu proses atau kegiatan sintesa informasi pemaduan berbagai informasi, baik informasi yang berasal dari hasil penelitian, mas media maupun yang berasal dari undang-undang yang sudah disahkan, sehingga diperoleh kebijakan yang dapat mendorong kemajuan perkebunan. Dimana kebijakan memerlukan rumusan secara komprehensif sehingga dapat berguna sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan demikian kebijakan yang diterapkan sudah melalui perencanaan yang matang.

Salah satu contoh kebijakan statejik tersebut adalah pencanangan revitalisasi di sektor pertanian, Kebijakan lain yang telah ditempuh pemerintah untuk kemajuan sektor pertanian adalah penghapusan pajak ekspor hasil pertanian dan tetap memberikan subsidi pupuk kepada petani. Pada opini kali ini akan coba diurai terkait dengan pengembangan lada di tanah air.


Sebagai pengekspor lada putih Indonesia masih beruntung karena tetap bertahan sebagai penghasil utama. Komoditas tersebut merupakan salah satu tanaman rempah yang paling banyak diminati luar negeri. Sedangkan sebagai penghasil lada hitam Indonesia sudah mulai digeser oleh Vietnam. Ancaman tersebut menuntut produk Indonesia untuk lebih dapat bersaing dalam hal harga dan mutu. Untuk dapat memperoleh produk yang dapat bersaing, harus dapat dimulai dari usahatani yang efisien, sedang sampai saat ini perkembangan tanaman lada sudah sangat menurun dan sudah kurang diminati oleh petani. Oleh sebab itu faktor-faktor yang menghambat dan mendorong pertumbuhan lada perlu dipelajari, sehingga dapat dihasilkan saran-saran kebijakan alternatif dalam pengembangan tanaman lada di Indonesia.

Daerah kajian meliputi Propinsi Lampung dan Bangka.

II. SIMPUL SIMPUL AGRIBISNIS LADA

Pembahasan hasil survei lada ini akan dikelompokkan berdasarkan simpul-simpul agribisnis karena kontribusi agribisnis dalam meningkatkan pendapatan petani lebih besar dan beragam dibandingkan dengan pendapatan usahatani (Kemala,1993). Subsistem tersebut adalah subsistem hulu, subsistem produksi, pengolahan hasil serta subsistem pemasaran dan kelembagaan. Subsistem Hulu Di bangka, penurunan volume ekspor lada putih, disebabkan oleh penurunan produksi dari 34.165 ton pada tahun 2001 menjadi 16.292 ton pada tahun 2006, yang disebabkan oleh penurunan luas areal dan produktivitas dari 1.1 ton/ha menjadi 0.78 ton/ha .

Penurunan produksi tersebut selain disebabkan oleh alih profesi ke pertambangan yang lebih menjanjikan bagi petani lada, juga disebabkan oleh penggunaan bibit asalan dari kebun sendiri atau tetangganya, bahkan masih banyak petani yang menggunakan sulur gantung. Apabila luas areal lada akan dikembalikan seperti luas semula pada tahun 2001, 50 juta bibit. Padahal lada unggul yaitu Petaling-1 dan Petaling-2 telah dilepas. Potensi produktivitas 4 ton/ha dan lebih toleran terhadap penyakit kuning.

Tidak berbeda dengan Bangka, penggunaan bibit asalan juga terjadi pada petani di Propinsi Lampung. Sebagian besar petani menggunakan sulur gantung jenis lada lokal dan sebagian lagi menggunakan jenis belantung, yang berasal sendiri atau membeli dari teman dan merasa yakin bahwa dari sekian jenis lada lokal, jenis belantung merupakan jenis yang paling toleran terhadap penyakit BPB. Bahkan petani yang terlibat Prima Tani pun belum mempercayai 100% bahwa varietas Natar 1** yang telah dilepas dapat berproduksi tinggi dan tahan terhadap BPB, walaupun di desa binaan Prima Tani yaitu Desa Sukamarga, Kecamatan Abung Tinggi telah dibina kelompok petani penangkar benih lada Natar 1**. Akibat dari pemilihan bibit lada asalan tersebut produktivitas lada hitam di Lampung dari 663.18 kg/ha pada tahun 2003 (Ditjenbun, 2004) menjadi 485 kg/ha pada tahun 2006 (Disbun Lampung, 2007), padahal potensi produktivitas lada unggul (Natar 1) adalah 4 ton/ha (Kemala, 2007).

Subsistem Usahatani

Di Bangka, lada diusahakan dalam bentuk budidaya yaitu
a). budidaya tiang panjat mati,
b). budidaya tiang panjat hidup, dan
c) budidaya lada perdu.

Budidaya tiang panjat mati sebagian besar (98,4%) diusahakan dipropinsi Bangka Belitung (Zaubin dan Yufdi, 1996). Budidaya tiang panjat mati disebut budidaya intensif, karena menggunakan tiang panjat kayu yang bermutu tinggi serta menggunakan pupuk dan pestisida dosis tinggi sehingga biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan tiang panjat hidup. Namun demikian masa produksi lada tiang panjat mati hanya 3 tahun, dengan produktivitas optimum minimal 1 ton/ha. Dengan harga tiang panjat mati yang makin mahal (sekarang mecapai Rp. 10.000/batang), maka petani mulai mencari tiang panjat yang lebih murah tetapi bagus dengan harga Rp. 4.000/batang.

Petani umumnya sudah mengerti cara budidaya lada, karena sifatnya yang turun temurun. Namun dosis pupuk digunakan disesuaikan dengan modal yang dipunyai,kadangkadang dosisnya penuh kadang-kadang hanya sebagian. Sebagian besar petani menggunakan tenaga kerja keluarga kecuali panen. Mulai dari tanam, pemupukan, pengendalian hama, penyiangan dan penyulaman dilaksanakan bersama istri, anak dan menantu. Usahatanu lada belum mendapat dukungan atau ada lembaga keuangan yang membantu dalam pendanaan usaha tani nya.

Sedangkan di Propinsi Lampung, lada diusahakan dalam 3 bentuk budidaya yaitu a). budidaya tiang panjat mati,
b). budidaya tiang panjat hidup dan
c). budidaya lada perdu.

Di Lampung petani menggunakan tiang panjat hidup. Tiang panjat hidup yang umumnya digunakan adalah pohon dadap ( Erytrina fusca Laur), gamal ( Gliricidia maculata) dan kapok ( Ceiba pentandra). Tiang panjat ini memerlukan pemangkasan tiga kali setahun, tapi umumnya hanya dilakukan dua kali setahun untuk mengantisipasi adanya musim kemarau panjang. Meskipun tanaman lada membutuhkan pupuk N, P, dan K 3 ton/tahun dan sudah tersedia di kios-kios pupuk tingkat desa, namun sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk N,P,K akibat tidak mempunyai modal yang cukup. Beberapa petani menggunakan pupuk NPK namun dosisnya sangat rendah. Analisis usahatani lada menunjukkan bahwa, sebenarnya menguntungkan seperti yang pernah dihitung oleh Nurasa dan Supriatna, (2005). Namun karena petani kurang dapat merawat tanamannya (kurang modal) dan adanya serangan penyakit BPB produktivitas menjadi menurun.

Untuk mempertahankan Lampung sebagai pengasil lada hitam dunia (Lampung Black
Pepper), strategi yang harus dilaksanakan adalah

a). pendekatan teknologi yang telah dihasilkan dari peneliti ke petani sehingga petani tidak salah persepsi,

b). Menganjurkan untuk melakukan pola tanam baik antara lada dan perkebunan lainnya maupun lada dengan ternak, atau

c). Mencari wilayah baru dengan membuat peta kesesuaian lahan untuk luar sentra produksi yang ada sekarang tapi tetap di wilayah Lampung.

2.3 Subsistem Pengolahan Hasil

Pengolahan hasil lada putih masih sangat tradisional. Pengolahan secara tradisional memerlukan waktu yang cukup lama, air yang bersih dan tenaga yang banyak. Buah lada dirontokkan dengan cara diinjak atau menggunakan tangan, kemudian direndam dengan menggunakan air kolong selama 10-14 hari, kualitas air yang kurang memadai menyebabkan aroma khas lada putih kurang tajam dan masih mengandung lada hitam. Mutu lada putih yang dihasilkan ditingkat petani cenderung rendah dan tidak memenuhi syarat negara importir. Hal ini menyebabkan harga lada putih yang baik dengan lada putih yang tercampur lada hitam berbeda Rp. 1.000/kg. Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada Indonesia dipasar dunia perlu dilakukan perbaikan pengolahan dan penerapan sistem manajemen mutu di tingkat petani. Apabila petani lada dapat melakukan usahataninya secara berkelompok, perendaman dengan air bersih dapat dilakukan dengan membuat bak-bak perendaman dengan air yang mengalir yang dapat bertahan selama beberapa tahun.

Di Propinsi Lampung, pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan lada hitam, lada putih, lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan produk utama (lada hitam dan putih) serta produk samping (lada enteng, menir dan debu). Hampir semua petani di Lampung menjual lada dalam bentuk lada hitam, buah lada dipanen dengan menggunakan tenaga kerja luar dengan upah yang sangat bervariasi yaitu dengan upah harian atau bagian dari hasil panen lada yaitu Rp. 500-Rp800, per 1 kg hasil atau sekitar 30 HOK per hektar atau untuk menghasilkan 1 ton kering lada diperlukan 5 orang selama 30 hari mulai dari panen sampai lada siap jual.

Berdasarkan hasil survei tersebut jelas petani tidak mengenal produk lain selain lada hitam, ada beberapa petani telah menjual lada bubuk namun peningkatan pendapatan petani tidak seberapa, oleh sebab itu perlu sekali untuk membina petani dalam hal diversifikasi produk lada untuk meningkatkan nilai tambah.

3.4 Subsistem Pemasaran Lada

Rantai pemasaran di Bangka cukup efisien. Bagian harga yang diterima sekitar 78.26-
79.10% (Puslitbangbun, 2003). Petani menjual lada putih ke pedagang desa, pedagang desa ke pedagang kabupaten, dari pedagang kabupaten ke eksportir. Dari pedagang desa diperoleh informasi bahwa lada putih dari petani dibeli dengan harga Rp.38.000/kg. Kalau mutunya kurang baik hanya dibeli dengan harga Rp. 37.000/kg. Kemudian secara keseluruhan dijual ke pedagang besar di kabupaten dengan harga Rp. 38.250/kg. Disebutkan bahwa dari rata-rata 40.000 ton ekspor per tahun, pada tahun 2006 hanya dapat mengekspor 7.000-8.000 ton. Disebutkan bahwa saat ini lada putih Indonesia hanya mencapai kedudukan nomor 4, yang sebelumnya sempat menjadi eksportir kedua.

Di Propinsi Lampung, petani menjual lada hitam ke pegadang pengumpul di desa, kemudian pedagang mengumpul menjual ke pegadang besar sebelum ke eksportir. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul maksimal Rp.1.000/kg. Begitu pula dipedagang besar di pasar Kabupaten , karena persaingan antara pedagang besar di pasar kabupaten sangat ketat untuk dapat membeli lada petani dengan harga tinggi. Dilihat dari margin keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar, bagian harga yang diterima petani cukup besar yaitu lebih dari 85%.

Harga lada ditentukan oleh informasi yang diterima oleh pedagang besar dari eksportir dan harga ini dikontrol hampir setiap waktu oleh eksportir berdasarkan harga luar negeri. Pada saat survei berlangsung harga yang dicapai Rp. 30.000/kg lada hitam kering.

Masalah yang ditemui dalam rantai tataniaga adalah pedagang pengumpul selalu berusaha untuk mencampur produk petani yang sudah baik dengan lada asalan atau campuran lain yang memang khusus dibeli dengan harga murah. Ditingkat eksportir bagian yang baik dan bagian pencampur dipisah lagi, bagian produk yang bermutu tinggi diekspor, sedang bagian yang jelek dijual lagi ke pedagang besar untuk djual kepedagang pengumpul dangan harga murah.

2.5 Subsistem Kelembagaan dan Kebijakan

Investasi yang dibutuhkan untuk usahatani lada intensif saat ini bisa mencapai Rp. 20-Rp.25 juta sampai tahun ke 3. Komponen modal yang banyak diperlukan adalah pengadaan pupuk, pestisida dan tiang panjat. Dengan menurunnya minat untuk menambang timah saat ini karena kadar timah sudah sangat kurang, maka minat untuk menanam lada mulai tumbuh. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya tanaman-tanaman baru di lapangan sekitar Bangka Tengah dan Bangka Selatan, maka penyuluhan harus mulai ditingkatkan kembali. Untuk pengembangan usahatani lada diperlukan lembaga kredit formal dengan tingkat bunga yang wajar. Dengan adanya program Departemen Pertanian untuk memberikan modal usaha agribisnis bagi pedesaan tahun 2008 (Media Indonesia, 13 Agustus 2007), diharapkan Pemda Propinsi Bangka Belitung dapat mengajukan kredit ini bagi petani lada. Menteri Pertanian akan menyiapkan anggaran sebesar Rp. 1 triliun untuk 10 ribu desa (modal awal Rp. 100 juta/desa).

Di Propinsi Lampung, 80% petani tidak mempunyai modal sehingga kebunnya tidak
terawat, oleh sebab itu diperlukan lembaga kredit formal dengan tingkat bunga yang cukup wajar. Masalah yang dihadapi saat ini oleh petani lada adalah adanya kebijakan dari pemerintah pusat mengenai Revitalisasi Perkebunan yang hanya memfokuskan pada tanaman kelapa sawit, kakao dan karet sehingga kebijakan ini diturunkan ke tingkat provinsi dan kabupaten. Prioritas ditingkat kabupaten mengenai penganggaran baik berupa hibah berbantuan maupun pinjaman difokuskan ke tiga komoditas tersebut, lada hanya dibiayai seadanya. Untuk mengatasi hal ini perlu kebijakan mulai dari tingkat pusat untuk menelaah lebih lanjut untuk menambahkan komoditas lada pada Revitalisasi Perkebunan agar menyentuh perkebunan tingkat petani.

Untuk kebutuhan teknologi lada Badan Litbang Pertanuan telah banyak menghasilkan varietas unggul, tiang panjat , cara pemupukan, cara penanggulangan hama penyakit, alat-alat pengering, pengupas dan perontok sampai kesesuaian lahan dan iklim, namun teknologi ini belum sampai kepada petani lada. Upaya-upaya sosialisasi perlu terus dikembangkan agar tingkat adopsi dan penguasaaan teknologi oleh petani dapat diimplemtasikan pada skala yang lebih luas.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Setiap tahap dari subsistem agribisnis lada mempunyai berbagai permasalahan mulai
dari industri/penangkar benih, kurangnya perawatan kebun, adanya serangan penyakit, kurangnya penyuluhan, rendahnya adopsi teknologi kurangnya modal petani dan adanya usaha pencampuran lada asalan pada produk petani. Oleh sebab itu diperlukan kebijkan-kebijakan untuk membantu peningkatan pendapatan petani lada sebagai berikut :

1. BPTP adalah ujung tombak dari Badan Litbang Pertanian di daerah. Lada adalah salah satu andalan komoditas ekspor setelah kopi, oleh sebab itu untuk dapat mentransfer teknologi dari Puslit/Balai Penelitian yang bersifat nasional ke daerah sentra produksi lada perlu kebijakan khusus untuk memprioritaskan pengkajian dan pengembangan lada di BPTP, seperti yang disarankan oleh Pemerintah Daerah. Sampai saat ini peneliti lada di BPTP hampir tidak ada.

2. Salah satu bentuk untuk mendesiminasikan paket teknologi mulai dari perbanyakan tanaman, teknik budidaya dan pengolahan hasil diperlukan demonstrasion plot yang luasnya tidak sedikit (minimal 100 ha), untuk meyakinkan petani bahwa paket teknologi yang diperkenalkan memberikan nilai tambah. Untuk hal itu diperlukan kemitraan secara terpadu antara Petani, Swasta dan Pemerintah Daerah.

3. Petani lada sangat miskin dalam permodalan. Dengan adanya program, Menteri Pertanian untuk membantu petani miskin di daerah dengan memberikan kredit mikro sebanyak 1 triliun untuk 10.000 desa miskin, diharapkan Pemerintah Kabupaten yang mempunyai desa miskin dan merupakan daerah sentra produksi lada untuk menjemput bola dan memperoleh prioritas pada tahun 2008.

4. Dengan adanya program Revitalisasi Perkebunan yang memfokuskan 3 komoditas perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao diharapkan Pemerintah Daerah membuat pewilayahan untuk menempatkan ketiga komoditas tersebut di luar wilayah pengembangan lada sehingga tidak menggantikan komoditas lada.

5. Penerapan program pengembangan lada perlu secara berkesinambungan agar pembinaan petani lada dapat secara efektif dan holistik. Artinya sejajar setiap tahun ada program lada, jadi tidak hanya program kakao.

6. Perlu pengadaan stek lada unggul yang disiapkan institusi teknis pada awal tahun 2008 dan sebagai bahan untuk kebun benih/induk lada di setiap wilayah pengembangan.

7. Tahapan proses untuk menyusun rumusan tanaman obat sudah ada dan harus dituntaskan pada tahun 2008. Dengan memilih skenario herakhi sintesa kebijakan dan struktur herakhi sintesa penelitian dan pengembangan.


Source : http://perkebunan.litbang.deptan.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar